Sejarah Penerimaan Ajaran dan Ilham-ilham oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama serta Perkembangan/Penyebarannya

Di kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, berdiamlah seorang bumi putra bangsa Indonesia yang bernama Bapak HARDJOSAPURO. Pada tanggal 26 Desember 1952, Bp. HARDJOSAPURO seharian ada di rumah. Pada malam harinya beliau pergi berkunjung ke rumah temannya. Setelah beliau pulang, selagi mau tidur, tepat pada jam 01.00 malam, sekonyong-konyong seluruh badan beliau tergerak dengan sendirinya, untuk sujud kehadapan Hyang Maha Kuasa secara otomatis diluar kemauannya dengan ucapan-ucapan sujud seperti dilakukan oleh warga Sapta Darma sekarang ini.

Gerak sujud yang luar biasa yang berlangsung dari jam 01.00 malam hingga jam 05.00 pagi. Begitulah timbul rasa takut yang meliputi beliau, karena selama hidupnya belum pernah mengalaminya. Sehingga mendorong beliau untuk datang pada temannya/sahabat kharibnya bernama Bp. Djojojaimun (tukang kulit). Pada jam 07.00 pagi sampailah Bp. Hardjosapuro di rumah kawannya dan diceritakannlah pengalaman yang aneh semalam, yang kelihatannya tidak dipercayai oleh Bapak Djojojaimun.

Keadaan yang demikian itu sendiri yang memberikan bukti kepadanya dengan secara tiba-tiba seluruh badannya tergerak dengan sendirinya seperti yang dialami oleh Bp. Hardjosapuro. Maka setelah Bp. Djojojaimun selesai mengalami sujud diluar kemauan tadi, keduanya mempunyai niat untuk datang kepada sahabatnya yaitu Sdr. KEMI seorang sopir yang tinggal di kampung Gedang Sewu (Pare) dengan pengharapan akan mendapatkan penjelasan-penjelasan serta nasehat-nasehat dari padanya. Tangga 28 Desember 1952 jam 17.00 mereka berdua telah melangkahkan kakinya ke rumah Sdr. Kemi dan dengan segera diceritakan pengalaman mereka.

Belum sampai kesudahan ceritanya, ketiga orang tersebut digerakkan semacam yang keadaannya sama. Dengan tiba-tiba Bp. Hardjosapuro melihat dengan terang gambar-gambar tumbal ditempat-tempat tertentu yang tertanam di rumah Sdr. KEMI. Setelah gerakan berhenti diceritakannlah kepada Sdr. KEMI, mereka semakin bertambah keheran-heranan setelah mendengar cerita Bp. Hardjosapuro, karena tidak satupun yang tidak cocok dengan keadaan yang sebenarnya. Mereka bertiga dengan sepakat menemui sahabatnya yang bernama SOMOGIMAN yang mengerti akan kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan dari padanya. Sdr. SOMOGIMAN adalah seorang pengusaha pengangkutan di kampung Plongko (Pare). Pengalaman gaib segera dipaparkan kepada saudara Somogiman yang banyak dikerumuni oleh kawan-kawannya. Sambutannya dingin dan kelihatannya tidak dipercaya. Tetapi apa dikata, secara tiba-tiba Sdr. Somogiman mendapat gerakan yang otomatis diluar kemauannya juga seperti apa yang diceritrakan teman-temannya tadi. Semenjak itu tersiarlah kabar dari mulut kemulut kegaiban di kota Pare yang dialami oleh Bp. Hardjosapuro dan kawan-kawannya. Hingga terdengar pula oleh Sdr. DARMO seorang sopir dan seorang lagi bernama Sdr. REKSOKASIRIN juragan batik. Kedua orang tersebut belum sampai mendengarkan cerita kawan-kawannya itu tiba-tiba mengalami gerakan sedemikian juga.

Pada saat kedua orang itu mengalami gerakan yang sama, semuanya juga bergerak bersama-sama sujud yang serupa. Kini jumlahnya 6 orang. Kemudian mereka kembali kerumahnya masing-masing. Kecuali Bp. HARDJOSAPURO yang tidak mau kembali kerumahnya karena takut mendapat gerakan-gerakan sendirian dirumahnya. Sampai dua bulan lamanya beliau tidak mau dirumahnya sendiri tetapi berganti-ganti dirumah temannya. Karena orang-orang tersebut seolah-olah sama niatnya untuk berkumpul setiap malam hingga dua bulan lamanya.

Pada suatu malam setelah ke enam orang tersebut berkumpul, oleh mereka diterima suatu penerimaan supaya kembali ke rumah Bp. HARDJOSAPURO karena nantinya akan menerima pelajaran-pelajaran dari Hyang Maha Kuasa yang lebih tinggi lagi. Begitulah keesokan harinya pada tanggal 13 Pebruari 1953 jam 10.00 pagi mereka sudah berkumpul dirumah Bp. Hardjosapuro kemudian sedang asyik-asyiknya bercakap-cakap diterima perintah langsung kepada Bp. HARDJOSAPURO dan berkatalah beliau dengan tiba-tiba, ’’Kawan-kawan lihatlah saya mau mati dan amat-amatilah saya ”. Maka berdebar-debarlah hati kawan-kawannya dengan mengamat-amati Bp. Hardjosapuro yang berbaring membujur ke timur sambil bersidakep itu. ”Inilah yang dikatakan RACUT ialah mati didalam hidu”. Pikiran yang seolah-olah mati akan tetapi rasanya masih hidup. Masih mendengar segala yang diceritakan orang akan tetapi tak mendengarkan segala yang diceritakan.

Dalam keadaan racut tersebut Bp. Hardjosapuro merasa badannya keluar dari wadagnya, dan naik ke atas melalui alam yang enak sekali dan masuk ke dalam rumah yang besar dan indah sekali dan beliau sujud didalamnya. Kemudian dilihatnya ada orang bersinar sekali, hingga badannya tak terlihat nyata karena sinar yang berkilauan itu. Setelah selesai sujud maka orang yang bersinar tadi terus memegang Bp. Hardjosapuro dan dibopong dan diayun-ayunkan setelah itu beliau dituntun ke sebuah sumur yang penuh airnya, disuruhnya membukanya dan setelah dubuka dijelaskan bahwa itu yang dinamakan sumur gumuling dan sumur jalatunda. Setelah selesai diberikan oleh sang raja yang bersinar tadi dua bilah keris yang diberi nama Nogososro dan benda Sugada. Setelah itu beliau disuruhnya kembali pulang. Setelah beliau pada waktu pulang beliau merasa diikuti oleh sebuah bintang yang amat besar dibelakangnya. Tidak lama kemudian Bp. Hardjosapuro terbangun, diceritakanlah pengalamannya kepada kawan-kawannya. Setelah itu kawan-kawannya disuruh berbuat sama . Lalu berkatalah beliau Bp. Hardjosapuro sekonyong-konyong bahwa itu adalah RACUT.

Racut selalu dikerjakan oleh Bp. HARDJOSAPURO untuk menerima pelajaran-pelajaran dari Hyang Maha Kuasa. Pada suatu ketika sedang beliau racut menerima sebuah buku besar dari Hyang Maha Kuasa.
Riwayat penerimaan ajaran Kerohanian Sapta Darma ini berlangsung terus tiap-tiap hari tidak henti-hentinya, selama 12 tahun sampai dengan wafatnya Panuntun Agung Sri Gutama, maka riwayat penerimaan ini kami sajikan yang penting-penting saja.

Pada tanggal 12 Juli 1954 jam 11.00 siang, datanglah dirumah Bp. Hardjosapuro ialah : 1. Sdr. Sersan DIMAN, 2. Sdr. DJOJOSADJI, 3. Sdr. DANUMIHARDJO (Mantri guru Taman Siswa Pare). Mereka sedang asyiknya bercakap-cakap, tiba-tiba kelihatan dengan perlahan-lahan pemandangan sebuah gambar di meja tamu yang kelihatan dengan jelas sekali, tetapi kejadian ini tidak tetap, sebentar kelihatan sebentar lagi hilang. Tiba-tiba Sdr. Sersan Diman berdiri dengan sekonyong-konyong sambil menuding-nuding gambar tersebut dengan berkata keras : ”Ini harus digambar, ini harus digambar”, berkali-kali berkata demikian. Kemudian kawan-kawannya segera pergi ke toko mencari/membeli alat-alat gambar berupa mori putih, cat, kwas (alat-alat gambar tersebut). Setelah mendapatkannya terus segeralah digambar pemandangan gambar simbul itu sampai selesai. Setelah selesai digambar, maka hilanglah gambar pemandangan simbul itu dari pandangan mata, yang selanjutnya dinamakan SIMBUL PRIBADI MANUSIA. Pada gambar tersebut ada tulisan huruf Jawa : SAPTA DARMA, yang selanjutnya disempurnakan dengan penerimaan peribadatannya yang disebut SUJUD SAPTA DARMA /SUJUD ASAL MULA MANUSIA.

Sebelum 12 Juli 1954 peribadatan itu belum diketahui namanya. Selanjutnya menyusul penerimaan ”WEWARAH TUJUH’’. Kejadian ini sama halnya dengan gambar simbul pribadi manusia, hanya bedanya dalam penerimaan yaitu kelihatan tulisan tanpa papan (Sastra Jendra Hayuningrat). Sedangkan bahasanya memakai bahasa daerah.

Pada bulan Oktober 1954, dalam suatu persujudan pada malam harinya diterima lagi suatu penerimaan yang memerintahkan agar Sdr. SARPAN ditunjuk sebagai TUNTUNAN SANGGAR di PARE, KEDIRI. Ini suatu penerimaan baru lagi yaitu istilah SANGGAR. Yang dimaksud istilah Sanggar adalah tempat peribadatan (Pasujudan bersama) dan istilah TUNTUNAN adalah orang yang menuntuni sujud.

Pada tanggal 27 Desember 1955, selagi para warga mengadakan pasujudan bersama di Pare, diterimalah nama SRIGUTAMA. Bersamaan dengan diterimanya nama tersebut jatuhlah hujan lebat semalam suntuk, seterusnya dari tanggal 19 Agustus 1956 Bp. HARDJOSAPURO disebut menjadi PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA (Pelopor Budi Luhur). Kemudian tugas untuk menyiarkan ajaran ini diterima terus menerus dari Hyang Maha Kuasa oleh Panuntun Agung Sri Gutama, akan tetapi selalu ditolaknya dan ditentangnya. Karena perintah itu tidak dapat dielakkan dan apabila ditolaknya dan ditentangnya hukuman dari Tuhan dengan kontan diterimanya.

Maka pada akhirnya diterimanya oleh Panuntun Agung Sri Gutama pula ditawarkan kepada para pengikutnya, beliau berkata : ”Siapa yang mau bertugas menyiarkan budi luhur dan menyampaikan kasih sayangnya kepada sekalian umat yang sedang menderita kegelapan, terutama yang menderita sengsara sakit”. Tawaran itu diterima dengan senang hati oleh para warga. Selanjutnya berkatalah Panuntun Agung Sri Gutama : ’’Kalau kamu sekalian mau/sanggup menjalankan budi luhur, janganlah saudara mempunyai pamerih apapun”. Maka untuk bekal saudara sekalian saya beri bekal ”SABDA WARAS’’ untuk menyembuhkan penderita penyakit dengan ”Sabda Waras”, tidak hanya kepada manusia saja, tetapi apabila perlu kepada khewan-khewan yang sakit. Jadi sekali-kali tidak boleh menerima upah dan memakai syarat apapun. Apabila ada orang yang menginginkan sujud, tuntunilah sujud kehadapan Hyang Maha Kuasa/Tuhan Yang Maha Esa seperti yang saya ajarkan.

Demikianlah pesan-pesan Panuntun kepada warga yang akan keluar kota Pare. Kemudian para petugas keluar kota Pare bersama-sama Panuntun Agung Sri Gutama keliling Tanah Air. Para petugas tadi ditempatkan di kota-kota dan di desa-desa diseluruh wilayah Tanah Air, di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, D. K. I. Jakarta, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Bali dan banyak dibawa oleh warga ABRI. Sekarang ini para petugas sudah pulang kedaerahnya masing-masing.
Sejak itulah Ajaran Kerohanian Sapta Darma mulai berkembang biak.

Yogyakarta, 10 Nopember 1985

1 komentar:

Jagad Pakerti mengatakan...

Waras,
Mohon dikoreksi lagi tulisan ini, ajaran Sapta Darma bukanlah diperoleh dari ILHAM (mimpi, semedi yang tidak ada saksi manusia) namun melaui WAHYU langsung dari Hyang Maha Kuasa kepada Bp. Hardjo Sapoero (selanjudnya dengan wahyu pula menerima gelar Panuntun Agung Sri Gutomo) dalam keadaan sadar tidak mimpi dan disaksikan banyak sahabatnya.
Terimakasih telah mengenalkan ajaran KSD lewat blog ini, semoga HMK selalu memberikan pengayoman, ilmu yang bermanfaat dan kebahagiaan....
Waras

Posting Komentar

 

TENTANG KAMI

JANGANLAH KAMU SIA-SIAKAN HIDUPMU KARENA KALAU KITA HIDUP MENURUTI HAWA NAFSU TIDAK AKAN ADA HABIS-HABISNYA BY ANDO

Free CSS Template by CSSHeaven.org TNB, Blogger Blog Templates